Keteladan Laku Sufistik Syaikh Mutamakkin Dalam Teks Pakem Kajen
Syaikh Mutamakkin
merupakan salah satu ulama penyebar Islam di Jawa yang cukup kontrovesial
semasa hidupnya. Dalam serat cebolek ia
digambarkan memiliki paham wahdatul wujud
yang mengesampingkan adanya syariat.
Tingkat kontroversial Syaikh
Mutamakkin hampir sama dengan Syaikh Siti Jenar, Sunan Panggung, dan Syaik
Among Raga yang mewakili kecenderungan religi-intelektual sebagai Islam esoteris pengembang tasawuf falsafi yang
sering berhadapan dengan para ulama syariat yang mewakili Islam eksoteris pengembang tasawuf sunni.(hal.
1)
Syaikh Mutamakkin
diperkirakan lahir pada tahun 1645 M, abad ke-17 di desa Cebolek, Tuban Jawa
Timur, yang saat ini berubah menjadi desa Winong. Hal ini juga yang menjadi
salah satu sebab ia dikenal juga sebagai Mbah
Mbolek. Sementara untuk nama al-Mutamakkin sebenarnya merupakan gelar yang
diperoleh setelah kepulangannya dari rihlah
ilmu di Timur Tengah. (hal. 61)
Adapun kata
al-Mutamakkin ini berasal dari bahasa arab yang artinya orang yang meneguhkan
hati atau orang yang diyakini kesuciannya. Syaikh Mutamkkin juga merupakan keturunan
dari keluarga ningkrat. untuk itu, Syaikh Mutamakkin juga memiliki nama
Sumohadiwijaya.(hal. 62)
Syaikh Mutamakkin juga
merupakan seorang pengembara yang sangat mencintai ilmu. Salah satu jaringan
intelektualnya terhubung pada Syaikh Zayn al-Mizjaji al-Yamani merupakan
seorang mursyid ulama ahli tasawuf yang berasal dari Yaman yang telah
mengangkat Syaikh Mutamakkin sebagai khilafahnya di Nusantara. (Hal. 71)
Mengenai
kontroversialnya Syaikh Mutamakkin yang sempat menimbulakan konflik dengan pada
ulama keraton Surakarta dimasa Amangkurat IV hingga Paku Buwana II yang
akhirnya diberi pengampunan sebab tidak bersalah, sebenarnya sebab politis atas
pengaruh Syaikh Mutamakkin yang semakin besar dan sering melakukan perlawanan
terhadap kebijakan pemerintah pada waktu itu yang dianggap memberatkan rakyat.
Hal ini dapat dilihat
dalam karya Syeks Mutamakkin yang dikenal dengan sebutan Teks pakem kajen yang
diabadikan sebagai salah satu ungkapan sejarah serta bentuk ajaran Syaikh
Mutamakkin. (Hal. 81)
Dalam kitab yang
dikenal dengan teks pakem Kajen tersebut, Syaikh Mutamakkin banyak menuliskan
ajaran-ajarannya dengan sebuah metafora-metafora bahasa yang sarat makna dan
tentunya menyesuaikan dengan kondisi sosio-kultur dimana Syaikh Mutamakkin
menyebarkan ajarannya khususnya di desa Kajen.
Terkait itu, Syaikh
Mutamakkin menulis dalam teks Pakem kajen bahwa puncak dari ma’rifat seseorang
digambarkan sebagai menyatunya bahan-bahan dari sebuah besi yang menjadi linggis.
Linggis yang dimaksudkan disini merupakan wujud dari ma’rifat seseorang, proses
penempaannya merupakan analogi dari tarekat (jalan), dan besi yang menjadi
bahannya adalah syariat. (hal. 83)
Syariat yang
disimbolkan sebagai besi, yaitu syari’at di sini ditujukan sebagai landasan
bagi seorang sufi untuk mengerjakan amal ibadah, baik yang bersifak lahiriah
maupun batiniyah secara keras dan kuat sebagaimana sifat besi. (hal.97)
Sebagai pengembang
tasawuf falsafi, ajaran Syaikh Mutamakkin yang terdapat dalam Teks Pakem Kajen
sangatlah sederhana. Kesederhanaannya ini terletak pada bentuk tarekatnya yang
berupa shalat fardlu dan shalat sunnah serta akhlak yang baik dalam laku
keseharian. (hal. 102)
Sementara, proses
penempaan besi yang digunakan untuk menganalogikan tarekat, dimaksudkan Syaikh
Mutamakkin, bahwa seseorang harus tetap kuat dan berani sebagaimana proses
penempaan besi menjadi linggis atau benda yang lebih bernilai tinggi seperti
keris yang harus melalui tahap dibakar dalam panasnya bara api, dan ditempa
sedemikian rupa. Sebab dalam setiap tarekat, seseorang akan berhadapan dengan
banyak godaan dan ajakan buruk dari nafsu syahwat(hal.106)
Baru setelah keduanya
ini dapat dilakukan oleh seseorang dengan berusaha secara terus-menerus untuk
merawatnya maka seseorang akan mencapai pada ma’rifat yang dimaksudkan oleh
Syaikh Mutamakkin. Ma’rifat disini sebagai tingkat yang telah mencapai thoriqoh al-haqiqoh yang merupakan titik
tertinggi dari tasawuf. Dalam hal ini tidak bisa dideskripsikan bagaimana
pertemuan hamba dengan Allah, karena pertemuan tidak berupa kasat mata, akan
tetapi lebih kepada dzauq’ atau rasa. (hal. 132)
Komentar
Posting Komentar